Film hiburan untuk keluarga yang mengusung nilai-nilai hidup serta membangkitkan nasionalisme...
Bagi penikmat film nasional yang pernah menyaksikan Garuda Didadaku pada tahun 2009 tentu masih ingat dengan kisah Bayu (Emir Mahira), bocah kelas enam SD yang memiliki impian jadi pemain bola? Dua tahun berselang semenjak kemunculan film tersebut, kini hadir sekuelnya yang diharapkan mampu menarik banyak penonton.
Posisi sutradara memang diganti dari Ifa Isfansyah menjadi Rudi Soedjarwo, namun penulis skenario tetap dipercayakan kepada Salman Aristo yang juga bertindak sebagai produser.
Apabila dalam film Garuda di Dadaku, Bayu harus menghadapi sang kakek yang menentang keras cita-citanya sebagai pesepakbola, maka di sekuel keduanya ini sang tokoh utama yang mulai beranjak remaja sedang menghadapi pergolakan masa muda dan proses pencarian jati diri.
Tak hanya itu, Bayu juga harus menghadapi sejumlah konflik, baik di sekolah maupun di tim sepakbola. Di tengah konflik tersebut, Bayu mengemban tugas baru sebagai kapten tim nasional yang akan mengikuti liga ASEAN.
"Dengan ragam persoalan maupun konflik di sekelilingnya, Bayu harus melewati proses menjadi dewasa, mengemban tanggung jawab luar biasa besar sebagai kapten tim nasional tapi dia tetap seorang anak-anak. Dinamika itulah yang akan menarik bagi penonton," ujar sang sutradara Rudi.
Salman menambahkan, perjalanan Bayu di sekuel kedua ini lebih kepada pembuktian. "Apakah Bayu pantas memakai 'garuda' di dadanya? Itulah yang menjadi dasar film kedua ini," ujar Salman.
Film Garuda di Dadaku 2 masih dibintangi oleh Aldo Tansani (Heri) dan Maudy Koesnaedi (ibunda Bayu). Adapun pelatih timnas, Wisnu diperankan dengan baik oleh aktor yang sedang menanjak karirnya, Rio Dewanto. Wisnu digambarkan sebagai pelatih yang keras. Karakter Wisnu yang keras terbentuk karena ia anak dari seorang prajurit militer.
Sementara itu akting Emir di film ini jelas lebih matang dalam memerankan sosok Bayu yang beranjak remaja. Ada beberapa adegan yang minim dialog, sehingga semua ditampilkan melalui ekspresi wajah. Percakapan juga dibuat sealami mungkin antara Bayu dan teman-temannya, sehingga tidak terlihat kaku.
Film berdurasi 90 menit ini sangat direkomendasikan untuk ditonton oleh seluruh keluarga, terutama bagi anda yang memiliki anak yang usianya sedang beranjak remaja. Terdapat adegan-adegan yang biasa dialami anak remaja ketika pertama kali mengenal rasa suka kepada lawan jenis. Sindiran-sindiran terhadap persepakbolaan di Indonesia juga dengan jeli ditampilkan Rudi.
Selain itu celotehan-celotehan segar Bang Dulloh (Ramzi) turut meramaikan alur cerita. Berbeda dengan film sebelumnya, porsi pertandingan sepakbola di sekuel kedua ini memang lebih banyak. Emir Mahira yang masih sekolah di Singapura berkata, "Syuting film kali ini diadakan pada pagi hari dan pertandingannya sering diulang-ulang. Pastinya lebih melelahkan."
Diiringi dengan scoring musik yang menjiwai, membuat pertandingan final menjadi titik kulminasi cerita yang membanggakan. Bagaimanapun sejak film ini baru dimulai, penonton sudah menduga bahwa film karya Rudi Soedjarwo sebuah jaminan mutu. Scores yang disajikan saat film dimulai, terdengar megah dan membuat hati membuncah untuk mengawali sebuah film bernafaskan perjuangan dan nasionalisme. Trio Aghi Narottama, Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro sukses menyajikan ilustrasi musik film yang sarat dengan nilai-nilai moral misalnya tidak mudah menyerah dan terus mengejar impian.
Tak pelak lagi, inilah salah satu film terbaik nasional pada tahun 2011. Film ini pun akan memberi 'kejutan' bagi pecinta sepakbola Indonesia, saat adegan pertandingan timnas Indonesia melawan tim Malaysia. Jadi, berduyun-duyunlah datang dan saksikan 'kejutan' mereka mulai 15 Desember mendatang!
0 komentar:
Posting Komentar